RSS

MENORNYA DEMOKRASI KITA

Sampai kapan demokrasi kita terus ditutup dengan citra? Perpolitikan yang penuh dengan hawa-hawa image membuat saya berfikir, tidakkah demokrasi kita terlalu menor? Hal-hal dibawah inilah yang membuat saya berfikir demikian.

Dalam sebuah seminar politik di kampus saya, saya pernah mendengar bahwa Untuk menjadi politikus, diperlukan 4N, yaitu, nasab, nasib, nisob dan narsis, itulah kebenaran demokrasi yang unik di negei kita. Nasab adalah keturunan, jadi seseorang menjadi politikus karena nebeng nama besar keluarganya yang sudah mendahului kesuksesan menjadi politikus. Nasib, jarang yang menjadi jalan seseorang untuk menjadi seorang politikus, tapi ada juga yang politikus yang untung-untungan menjadi politikus, biasanya mereka-mereka yang mendapatkan porsi suara diurutan juru kunci, dengan modal pas-pasan bisa jadi anggota dewan, tapi nasib saja biasanya tidak cukup, tapi tanpa nasib baik segala daya upaya yang dilakukan akan sia-sia.

Nisob alias uang, inilah factor yang mendominasi, inilah jalur favorit calon politisi jaman sekarang, Mudah, cepat, lancar. Pasalnya sudah menjadi rumus para politikus, bahkan pancasila bisa dimodifikasi
“ keuangan Yang Maha Esa”, bagi penganut sila bobrok ini Uang adalah Tuhan. Naudzubillah, Syirik..!

Ketiga formulasi diatas takkan sedap tanpa bumbu tambahan yang sering disebut NARSIS, lihatlah jika masa pesta demokrasi dimulai, Baliho, spanduk, stiker, flier, kaos, bis-bis, angkot, bahkan undangan pernikahan anaknya, dipenuhi foto si balon ( Bakal calon). Fenomena narsis yang unik ini telah tercetak pula menjadi lembaran sejarah negri ini.

Empat formula diatas telah menjadi formulasi seseorang jika dirinya mempunyai keinginan untuk menjadi politisi. Paling tidak satu formulalah untuk dijadikan modal, tapi lebih banyak formula ang dipunyai lebih baik. Terlebih lagi jika punya ke-empat2nya.

MENORITAS demokrasi berkaitan erat dengan 4N diatas. Menoritas ( bukan minoritas, baca = kemenoran ) adalah modal untuk menjadi narsis, menor takkan berhasil jika make up yang dipakai biasa-biasa saja, perlu uang ( nisob ) untuk membeli make up mahal dan tebal, yang bisa menutup bekas jerawat politik suatu orang/ golongan. Seseorang/ suatu golongan mungkin memang nebeng nama seorang anggota keluarga (nasab) tapi ternyata orang yang ditebengi juga meninggalkan bekas jerawat politik yang memeperburuk citranya, maka diperteballah make up tersebut.

Jika nasibnya baik, maka jerawat itu takkan timbul sampai akhir masa jabatan/ masa pemerintahan. Tapi jika nasibnya buruk maka make up itu justru malah akan luntur dan memperburuk wajah.
Apakah yang dimaksud make up dalam konteks ini? Tentu saja media. Karena Media yang mampu membuat seseorang menjadi baik atau sebaliknya. Media yang bermutu tentu saja tidak hanya membuat seseorang/ segolongan semata-mata selalu terlihat baik, adakalanya seperangkap alat make up dilengkapi dengan milk cleanser ( pembersih wajah ), sekali-kali media harus benar-benar menampilkan sesosok figur atau segolongan partai politik secara jujur tanpa make up, karena make up yang terlalu lama menempel pada wajah seseorang bisa memperbesar pori-pori dan bahkan menyebabkan kerusakan kulit.

Terkadang kita harus jujur dan polos terhadap siapa diri kita, jika telihat borok kita, terkadang harus siap mengakuinya secara perwira, tidak lantas menebalkan make-up dan menunjuk borok orang lain agar borok kita tertutupi, sebenarnya tak ada gunanya melakukan hal itu, bukannya membuat wajah kita menjadi bersih, tapi wajah kita semakin remuk oleh racun yang sedikit demi sedikit meresap ke pori-pori kulit dan menggerogotinya sedikit –demi sedikit karena tidak segera melakukan facial. Menor boleh tapi rajin-rajinlah melakukan facial.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar